Sabtu, 19 November 2011

Masa Iddah bagi Wanita dan Hikmahnya






PENDAHULUAN


Seks merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila antara laki-laki dan perempuan telah diikat oleh suatu ikatan yang sah yang disebut dengan pernikahan.

Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Manakala setelah perkawinan terjadi hubungan seks, tetapi dalam perjalanan perkawinan itu ternyata tidak berjalan dengan mulus dan terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan itu tidak bisa dicapai dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.

Islam memberikan batasan iddah ini sebagai berikut :

1. Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.

2. Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (menopause) = tiga bulan.

3. Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.

4. Iddah wanita hamil = sampai melahirkan.

5. Tidak ada iddah bagi wanita yang belum dicampuri.

Lamanya iddah seperti tersebut diatas sebagaimana juga tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat (2).

Dalam hukum perdata masa iddah ini disebut dengan masa tunggu, yaitu dengan lamanya :

1. 1 (satu) tahun bagi wanita yang cerai dan ingin kawin lagi dengan bekas suaminya itu, dan.

2. 300 hari bagi wanita baru diperbolehkan untuk kawin dengan laki-laki lain.


------------------------------------------------

PEMBAHASAN

A. Beberapa Hadits Terkait Iddah

Banyak sekali hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan iddah. Diantaranya adalah:

I. Iddah Wanita Hamil

عن المسورين مخرمة رضي الله عنه (انّ سبيعة الاسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت الى النبي ص.م. فاستاءذنته ان تنكح فاذن لها، فنكحت) رواه البخارى، واصله فى الصحيحين

Dari Miswar putera Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra melahirkan setelah suaminya meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari).

وفى لفظ (انّها وضعت بعد وفاة زوجها باربعين ليلة) وفى لفظ لمسلم قال الزهرى (ولا ارى باءسا ان تزوّج وهى فى دمها، غير انّه لا يقربها زوجها حتى تطهر)

Dan pada suatu lafadz disebutkan: “sesungguhnya Subai’ah melahirkan setelah suaminya meninggal empat puluh hari.” Dan pada suatu lafadz pada riwayat Muslim disebutkan: berkata Az Zuhri: “Aku berpendapat tidak ada halangan ia kawin dalam keadaan masih darah nifas, hanya saja suaminya jangan menyetubuhi dulu sebelum ia suci.”

II. Iddah Wanita yang Meminta Cerai (Khulu’)

حدّثني عبادة بن الوليدبن عبادة بن الصامت عن ربيع بنت معوّذ قال قلت لها حدّثني حديثك قالت اختلعت من زوجي ثم جئت عثمان فسألته ماذا علىّ من العدّة فقال لاعدّة عليك الاّان تكون حديثة عهد به فتمكني حتى تحيضى حيضة قال وانا متّبع فى ذلك قضاء رسول الله ص.م. فى مريم المغاليّة كانت تحت ثابت بن قيس بن شمّاش فاختلعت منه

Menceritakan kepadaku Ubadah Ibnu Walid Ibnu Shamit bertanya pada Rubayyi’ binti Mu’awidz: “ceritakan kisahmu padaku”. Ia berkata: “aku telah meminta cerai dari suamiku”. Kemudian aku datang pada Usman dan aku bertanya padanya: “berapa hari masa iddahku.” Jawabnya: “tidak ada iddah atasmu, kecuali jika kamu telah bergaul dengan suamimu. Maka sekarang tunggulah hingga kamu haid sekali. Dalam hal ini aku mengikuti keputusan Rasulullah atas diri Maryam Al Maghalibiyah, yang menjadi istri Tsabit Ibnu Qais Ibnu Syamas, dan kemudian ia meminta diceraikan suaminya.”

III. Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

عن زينب بنت ام سلمة قالت امّ حببيبة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لا يحلّ لامرأة تؤمن بالله واليوم الاخر تحدّ على ميت فوق ثلاثة أيام الا على زوج اربعة اشهر وعشرا

Dari Zainab binti Ummu Salamah dari Ummu Habibah ra. Berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:” tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung atas orang yang mati lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka masa berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.”

IV. Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya Sebelum Terjadi Senggama

عن عبراهيم عن علقمة عن ابن مسعود انّه سئل عن رجل تزوج امرأة ولم يفرض لها صداقا ولم يدخل بها حتى مات قال ابن مسعود لها مثل صداق نسائها لا وكس ولا شطط وعليها العدة ولها الميرات فقام معقل بن سنان الاشجعي فقال قضى فينا رسول الله ص م فى بروع بنت واشق امرأة منّا مثل ما قضيت ففرح ابن مسعود رضى الله عنه

Dari Ibrahim dari Alqamah berkata: “Ketika Ibnu Mas’ud ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita, kemudian ia mati sebelum memberikan mas kawin pada istrinya dan juga belum bersenggama dengannya. Jawab Ibnu Mas’ud: Istrinya tetap berhak mendapatkan mas kawin, tidak boleh kurang atau lebih, dan atasnya berlaku iddah serta ia berhak mendapat warisan”. Maka berdirilah Ma’qil ibnu Sinan Al Asyja’i dan berkata: “Rasulullah saw telah memutuskan masalah Barwa’ binti Wasyq, sebagaimana yang putuskan. Ia adalah seorang wanita kaum kami.” Karena itu Ibnu Mas’ud menjadi senang.”

B. Pengertian Iddah

Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :

Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”

Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.

C. Hukum Iddah dan Macam-Macamnya

Para ulama sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228 yang artinya “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Rasulullah juga pernah bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kaltsum.”

Macam-macam iddah:

1. Iddah karena cerai mati.

Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan, yaitu : Jika perempuan tersebut hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah Ath-Thalaq ayat 4. Demikian pula telah disebutkan dalam sebuah Hadits Rasulullah yang artinya : “Kalau seorang perempuan melahirkan sedang suaminya meninggal belum dikubur, ia boleh bersuami.” Tetapi jika tidak hamil, maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari. Hal ini sebagaimana disebutkan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 234.

2. Iddah cerai hidup.

Perempuan yang dicerai dalam posisi cerai hidup dalam hal ini ada tiga keadaan yaitu :

1) Dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Ath-Thalaq ayat 4 .

2) Dalam keadaan sudah dewasa (sudah menstruasi) masa iddahnya tiga kali suci. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228.

3) Dalam keadaan belum dewasa (belum pernah menstruasi) atau sudah putus menstruasi (menopause), iddahnya adalah tiga bulan. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Ath Thalak ayat 4

3. Iddah bagi perempuan yang belum digauli, maka baginya tidak mempunyai masa iddah. Artinya boleh langsung menikah setelah dicerai oleh suaminya. Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ahzaab ayat 49.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, iddah diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang dalam Pasal 153 ayat (2) sampai dengan (6) nya berbunyi :

(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :

Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.

(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.

(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”

D. Eksistensi Iddah Dalam Pernikahan

Sebagaimana pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya. Adanya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut :

Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :

Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan istri; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
Sebagai masa transisi.

Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:

Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal.
Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”

Agar postingan ini tidak terlalu padat, saya akan sambungkan lagi ke postingan berikutnya yang membahas manfaatnya. Silahkan klik link ini

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak !