This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Juni 2015

Islam sebagai Aqidah, Syariah dan Akhlak

Islam Agama Tertinggi


Pada saat sekarang ini, kita umat muslim tidak hanya mengalami perang alat, tetapi juga perang pemikiran, salah satu contohnya ialah Perang Terminologi atau Harbul Mustholahah. Perang Harbul Mustholahah ini lebih berbahaya daripada perang alat, karena bisa menyebabkan terminologi-terminologi dari ajaran Islam lenyap, seperti Aqidah, Syariah dan Akhlak.

Contohnya pada zaman sekarang ini, tanpa kita sadari kita telah meninggalkan terminologi-terminologi yang berasal dari ajaran Islam.

Istilah Aqidah sering kita sebut dengan Ideologi atau Filsafat
Istilah Syariah sering kita sebut dengan hukum dan aturan
Istilah Akhlak sering kita sebut dengan moral, budi pekerti dan mental
Bahkan kita sering mengidentikan istilah musyarawah dengan demokrasi

Hal tersebut merupakan masalah yang sangat besar dan berbahaya yang berakibat dapat terhapusnya istilah-istilah Islam.

Islam bukan sekedar membahas mengenai aturan dan hukum, tetapi juga membahas tentang Syari’ah. Islam juga bukan sekedar membicarakan tentang moral dan mental, tetapi juga membicarakan akhlak.
Al-Habib Zaid bin Smith di dalam bukunya membahas tentang hadis Jibril AS, dari hadis tersebut, para ulama mengambil kesimpulan tentang  Arkan al-Diin atau tentang rukun agama yang inti isi daripada hadis tersebut adalah malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad saw, tentang apa yang dimaksud dengan iman, kemudian Nabi menjawab dengan rukun Iman, lalu Jibril bertanya lagi kepada Nabi tentang apa yang dimaksud dengan Islam, kemudian Nabi menjawab dengan rukun Islam, lalu Jibril bertanya lagi tentang apa itu Ihsan, kemudian Nabi menjawab bahwa Ihsan itu ialah bersikap wara’ atau manusia selalu merasa dalam pengawasan Allah SWT kapan pun dan dimana pun berada.

Perlu diketahui bahwa Iman, Islam dan Ihsan merupakan Rukun daripada agama Islam. Karena ia merupakan rukun, maka setiap muslim wajib memiliki Islam, Iman dan Ihsan, karena merupakan satu kesatuan, tidak boleh umat muslim hanya memiliki Islam dan Iman tetapi tidak memiliki Ihsan dan lain sebagainya. Masing-masing rukun tersebut memiliki perbedaan, diantaranya :





1.      Iman
Iman membicarakan tentang a’maalun ‘ittiqodiyah atau keyakinan, walaupun Nabi Muhammad menyebutkan rukun Iman itu ada enam perkara, tetapi persoalan keimanan tidak hanya enam. Misalnya saja keimanan tentang surga dan neraka, keimanan tentang hal yang ghoib seperti Jin dan setan. Walaupun tidak termasuk dalam rukun iman, tetapi tetap harus kita imani sebagai umat muslim, hanya saja rukun iman yang enam itu merupakan rukunnya keimanan yang tidak boleh ditukar dan tidak boleh ditolak.

2.      Islam
Islam membicarakan tentang a’maalun zhohiriyah, kita mengenal adanya rukun islam itu ada lima, yakni mengucapkan kalimat syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji merupakan pekerjaan yang melibatkan tubuh kita. Khusus rukun islam yang pertama makna syahadatnya itu masuk ke dalam amal keyakinan kita, tetapi lisan yang mengucapkan termasuk kedalam a’maalun zhohiriyah.

3.      Ihsan
Ihsan membicarakan tentang a’maalun bathiniyah/qolbiyah atau perbuatan hati yang baik dan tidak baik. Amal hati yang baik contohnya Ikhlas, Tawaddhu’, dan amal hati yang tidak baik seperti riya’ dan sebagainya

Masalah keimanan juga disebut dengan ilmu Aqidah atau ilmu Tauhid dan disebut juga dengan ilmu Ushul, bahkan disebut juga dengan ilmu kalam, mengapa disebut ilmu kalam, karena zaman dahulu banyaknya perdebatan, misalnya saja perdebatan mengenai Qur’an itu makhluk atau bukan, sehingga banyak ulama banyak memberikan ungkapan-ungkapan mengenai Qur’an jadi disebut dengan ilmu kalam. Dan kadang-kadang ilmu aqidah disebut juga dengan ilmu filsafat, meskipun kurang tepat, kadang jika kita masuk ke fakultas filsafat yang dibahas adalah soal aqidah karena mempunyai kaitan di dalam argumentasi mantiknya untuk berbicara tentang metafisika
Masalah keislaman dibahas dalam ilmu Syariah. Ilmu Syariah ini juga disebut dengan ilmu fiqh, ilmu furu’ karena permasalahan di dalam furu’ dibahas dalam ilmu fiqh. Kadang juga disebut dengan ilmu hukum islam
Masalah keihsanan dikenal dengan ilmu akhlak, ilmu Aadab. Dan kadang disebut dengan ilmu suluk, dan ilmu tasawwuf karena inti daripada ilmu tasawuf adalah akhlak. Dan juga disebut dengan ilmu thoriqoh, karena di dalam thoriqoh diajarkan masalah pembentukan akhlak
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlak. Maksudnya agama islam memiliki tiga rukun agama yakni, Iman, Islam dan Ihsan, yang mana Iman dituangkan kedalam Aqidah, Islam dituangkan kedalam Syariat dan Ihsan dituangkan dalam Akhlak.


Hubungan persoalan Aqidah, Syariat dan Akhlak ?

Tanpa Aqidah, Syariat tidak akan tegak dan akhlak tidak akan mulia. Oleh sebab itu Aqidah haruslah kuat, sehingga syariat akan jalan dan akhlak yang dimiliki pasti mulia. Begitu juga sebaliknya, tanpa Syariat, aqidah tidak akan kokoh dan akhlak tidak akan mulia . Tanpa Akhlak, tidak ada aqidah yang kuat dan syariat tidak jalan, karena tidak ada seseorang yang memperjuangkan syariat tetapi akhlaknya bejat. Bicara soal akhlak, akhlak merupakan bagian daripada misi kenabian, di dalam hadis disebutkan bahwa :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الاَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”
Akhlak yang mulia itu adalah orang yang mengikuti ajaran Allah, karena akhlak bukan berarti dia hanya berbicara dengan sopan santun, pakaian rapi, tetapi jika yang dibicarakan olehnya tidak etis, maka itu bukan akhlak mulia

Bagaimana hubungan Aqidah dengan Filsafat dan Ideologi ?
1.      Aqidah lebih tinggi, karena merupakan produk dari Allah, sedangkan filsafat dan ideologi adalah produk manusia
2.      Aqidah bersumber dari wahyu lihai yang suci baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Sedangkan filsafat dan Ideologi sumbernya dari hasil pemikiran manusia. Ideologi yang berasal dari kata ‘Ide’ yakni pendapat yang kemudian dijadikan prinsip hidup, misalnya seperti Ideologi Liberalis, Ideologi Kapitalis, Ideologi Komunis dan lain-lain
3.      Aqidah tidak dapat ditukar, sekali berpegang pada satu aqidah maka akan tetap pada aqidah tersebut. Sedangkan filsafat dan Ideologi bisa ditukar berdasarkan situasi dan kondisinya, misalnya saja Pancasila, Pancasila sudah mengalami beberapa perubahan dari sejak awalnya dibuat
4.      Aqidah memiliki akar yang kokoh, karena bersumber dari wahyu ilahi sehingga tidak mudah dicabut. Sedangkan Ideologi sangat rapuh, mudah sekali dicabut, misalnya seseorang yang berideologi komunis kemudian beradu argumen dengan orang yang berideologi liberalis, bisa saja seseorang yang berideologi komunis menjadi ideologi liberalis, dan sebaliknya
5.      Aqidah memiliki dimensi dunia dan akhirat. Sedangkan Filsafat dan Ideologi hanya memiliki dimensi dunia


Bagaimana hubungan Syariat dengan aturan dan hukum ?

1.      Syariat lebih tinggi dari aturan dan hukum, dan setiap syariat pasti berisi aturan dan hukum, tetapi aturan dan syariat belum tentu Syariat. Syariat lebih tinggi dari aturan dan hukum karena berdiri diatas Aqidah yang mana isi dari syariat itu untuk menguatkan aqidah. Sedangkan aturan dan hukum berdiri diatas filsafat dan ideologi, sehingga jika mau membuat aturan dan hukum maka harus melihat ideologi yang digunakan pada saat itu
2.      Syariat tunduk kepada hukum Allah. Sedangkan aturan dan hukum bertentangan dengan hukum Allah, aturan dan hukum berbeda-beda di setiap wilayah. Misalnya, penjualan minuman keras dilarang di negara muslim, tetapi dijual bebas di negara barat. Aturan dan hukum berdiri diatas konstitusi
3.      Syariat tidak boleh dan tidak bisa diubah, misalnya saja hal tentang zina, dari sejak awal syariat muncul hingga saat ini dan sampai kapanpun zina tetap haram. Berbeda dengan aturan dan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah
4.      Syariat itu mencakup semua aspek
5.      Syariat memiliki dimensi dunia dan akhirat. Sedangkan aturan dan hukum hanya memiliki dimensi dunia


Bagaimana hubungan Akhlak dengan moral dan mental ?

1.      Akhlak lebih tinggi karena berasal dari islam dan berparameter jelas dan sama, misalnya sifat ikhlas diakui sebagai sifat yang baik di semua negara baik nusantara, Arab, Eropa, dan sifat sombong disebut dengan sifat yang tidak baik yang diakui oleh semua negara. Sedangkan moral dan mental bersifat universal dibahas oleh semua agama, dan berparameter berbeda dan tidak jelas, karena mengacu pada tradisi di setiap wilayah. Misalnya kumpul kebo dibilang bermoral di negara barat, tetapi dianggap tidak bermoral di Indonesia. Aliran sesat bagi liberal sah-sah saja karena dianggap bermoral, tetapi bagi kaum ahlussunnah wal jamaah dianggap tidak bermoral. Akhlak berdiri diatas Syariat dan Aqidah, dan merupakan misi kenabian. Sedangkan moral dan mental bukan misi dari kenabian, bahkan mental merupakan misi dari kaum komunis, pada saat pemilu pertama dilakukan partai PKI yang ikut serta menjadikan revolusi mental sebagai jargon PKI yang merupakan penganut paham komunis. Karl Max di dalam bukunya memperkenalkan teori revolusi mental, menurutnya jika seseorang beragama maka dia dibatasi dan dijajah oleh hukum agama sehingga jiwa dan mentalnya dibelenggu oleh agama, dan Karl Max mengajak agar kita harus membebaskan mental kita dari aturan agama. Inti dari pada teori revolusi mental yakni supaya manusia tidak beragama.


Jokowi dan Revolusi Mental


2.      Akhlak pasti menjaga moral dan mental sesuai ajaran aqidah dan syariat. Tetapi, moral dan mental belum tentu menjaga akhlak
3.      Akhlak memiliki dimensi dunia dan akhirat. Sedangkan moral dan mental hanya memiliki dimensi dunia


Kesimpulan

Semua agama bahkan Ateis sekalipun mampu berbicara dengan fasih mengenai aturan dan hukum, filsafat dan ideologi, serta moral dan mental. Tetapi mereka tidak mampu berbicara mengenai Aqidah, Syariat dan Akhlak kecuali Agama Islam. Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlak sehingga Islam sangat mampu untuk menuturkan seluruh Aqidah, Syariat dan Akhlak dan juga mampu dengan fasih menguraikan filsafat dan ideologi, aturan dan hukum, moral dan mental dalam batasan Aqidah, Syariat dan Akhlak. Inilah Islam,
اَلإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ
"Islam paling tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam"



Kutipan ceramah : Al Habib Muhammad Rizieq Syihab, LC

Senin, 16 Juli 2012

(lanjutan) dari Massa Iddah bagi Wanita dan Hikmahnya

Selain apa yang dikemukakan di atas, adanya iddah itu mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Iddah dan kehamilan.

Sebenarnya terjadi perbedaan pengertian diantara para ulama tentang batas iddah dengan istilah “quru” ini, ada yang mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya dengan “haid”. Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat mengakibatkan perbedaan lama beriddah. Quru dengan pengertian suci akan mengakibatkan masa iddah lebih pendek dari quru dengan pengertian haid.

Diperlukannya iddah bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau hidup, salah satu manfaatnya adalah untuk mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan. Terjadinya kehamilan ini apabila sperma laki-laki bertemu dan bersama sebuah telur (ovum) disebabkan adanya hubungan suami istri, sperma laki-laki mampu bertahan selama 48 jam serta telur 24 jam.

Muhammad Ali Akbar menyatakan bahwa “Adakah menakjubkan mendapati puncak differensiasi sel embrio terjadi pada tahap ini (minggu ke-4 hingga ke-8). Periode ini sangat penting karena masing-masing dari tiga lapisan primordium menjadi sejumlah jaringan dan organ spesifik. Longman juga mengatakan “semua organ dan sistem organ utama dibentuk selama minggu keempat hingga kedelapan. Oleh karena itu, periode ini juga disebut periode organogenisis. Itulah saat embrio paling rentan terhadap faktor-faktor yang mengganggu perkembangan dan kebanyakan malformasi kongenital yang terlihat pada waktu lahir didapatkan asalnya selama periode kritis ini.” Artinya menurut pemahaman penulis dalam minggu-minggu keempat dan kedelapan inilah saat-saat embrio terjadi degenerasi atau tidak.

Salah satu indikasi bahwa wanita itu tidak hamil adalah dengan adanya haid atau menstruasi. Menstruasi dimaksudkan dengan “saat seorang wanita mengeluarkan darah pada periode tertentu dalam keadaan sehat wal afiat. Darah tersebut berasal dari lubang uterine.” Dan siklus haid berkisar antara 28 hingga 35 hari. Dengan masa menstruasi berkisar antara tiga hari sampai satu minggu, dalam hal ini tergantung kondisi wanita tersebut.

Adanya prosesi itu dan mampu melewati masa-masa kritis, sekaligus jika dikaitkan dengan masa iddah selama 3 bulan atau tiga kali suci, sehingga dengan masa selama itu dapat dipastikan bahwa rahim seorang perempuan kosong dari benih kehamilan. Artinya dengan iddah selama itu, maka bisa dipastikan bahwa seorang wanita yang dicerai oleh suaminya, baik karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia tidak dalam keadaan hamil, dan hamil akan mengakibatkan kelahiran manusia (anak). “Manusia dibentuk oleh penyatuan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum) membentuk sebuah sel yang disebut zigot. Zigot di dalam Al Qr’an disebut nutfah amsyaj yang terbentuk dari perpaduan dan percampuran nutfah jantan dan nutfah betina.” Dengan diketahuinya kekosongan rahim itu, maka status anak yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan setelah akan jelas atau akan memperjelas status ayah bagi janin yang ada pada rahim seorang wanita, yang pada akhirnya akan mempertegas status nasab anak.

Allah berfirman dalam surah Ar-Ra’du ayat 8 yang artinya : Allah mengetahui apa yang dikandung oleh perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya.

2. Iddah sebagai masa berkabung.

Bagi para wanita yang ditinggal oleh suaminya mati, wajib baginya berkabung. “Para ulama mazhab sepakat atas wajibnya wanita yang ditinggal mati suaminya untuk melakukan (hidad) berkabung, baik itu wanita itu sudah lanjut usia maupun masih kecil, muslimah maupun non muslimah. Kecuali Hanafi, mazhab ini mengatakan bahwa wanita zimmi dan masih kecil tidak harus menjalani hidad sebab mereka tidak dikenai kewajiban (gairu taklif).

Islam membatasi masa berkabung atau meratapi atas meninggalnya seseorang. Bagi orang lain selain istri atau suami masa berkabung dibolehkan hanya 3 hari, namun bagi istri batas maksimal adalah 4 bulan sepuluh hari.

Dalam agama Hindu lebih panjang lagi, sebagaimana disebutkan, “Dalam agama seperti agama Hindu dan Jainisme. Janda tidak diizinkan menikah lagi, sekalipun andaikan suaminya tak lama setelah perkawinannya, dia harus tetap menjanda sepanjang hayatnya, menanggung celaan dari mertua dan iparnya. Pertama-tama dia dianggap bertanggungjawab atas kematian suaminya. Diyakini dia yang menimbulkan penyakit yang menimbulkan suaminya meninggal.”

Karena masa berkabung sekaligus dijadikan sebagai masa iddah selama empat bulan sepuluh hari itu, untuk ukuran orang-orang tertentu cukup lama. Karena secara naluriah, manusia senantiasa membutuhkan lawan jenisnya untuk selalu bersama. Begitu pula wanita normal tentunya membutuhkan lawan jenisnya untuk mendapatkan perlindungan dari laki-laki, karena wanita dianggap sebagai makhluk yang lemah, selain itu juga wanita memerlukan pemenuhan kebutuhan biologis dari lawan jenisnya, dan itu hanya bisa didapatkan jika ia melakukan pernikahan kembali, begitu pula wanita tersebut dapat menentukan arah kehidupannya serta tidak ingin larut dalam kedukaan yang berkepanjangan. Sehingga wajar jika ia diberi kesempatan untuk menikah lagi demi masa depannya. Begitu juga terhadap kehidupan anak-anak yang ditinggalkan oleh bapaknya meninggal dunia, juga memerlukan perlindungan, pengayoman, pendidikan ataupun juga bantuan yang mungkin dapat diperoleh dari suami ibunya yang baru.

3. Iddah sebagai saat strategis bagi pihak-pihak dan saat berpikir yang baik untuk dapat rujuk kembali.

Apabila seseorang bercerai dengan suami atau istrinya, maka ia akan merasakan adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya. Sebelumnya seorang laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah dengan istrinya, kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya lagi, begitu pula bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat inilah yang dapat digunakan untuk berpikir keras, menimbang-nimbang buruk baiknya bercerai itu.

Seorang janda dapat lebih leluasa menyatakan kemauannya untuk bisa kawin lagi, karena dalam hal ini janda lebih berhak atas dirinya sendiri

Terhadap adanya perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya rujuk kembali. Baik pengaruhnya terhadap dirinya sendiri, anak-anak, keluarga, kerabat, handai-taulan, dan lain-lain. Dampak negatif tentunya perlu ditekan semaksimal mungkin.

Adanya iddah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh, serta diharapkan dengan masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan menemukan jalan yang terbaik untuk kehidupan mereka selanjutnya.

Terhadap pihak ketiga yang berkepentingan dengan kelanggengan pasangan suami istri itu, juga masih mempunyai waktu atau kesempatan untuk melakukan intervensi, memberikan nasehat-nasehat atau saran agar rumah tangga suami istri itu bisa rukun kembali sebagaimana sediakala dengan memberikan alternatif yang dapat menggugah suami istri yang bercerai itu agar bisa rukun kembali. Nasehat yang demikian sangat dianjurkan dalam Islam. Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ashr ayat 3.

4. Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah.

Selain tujuan-tujuan iddah sebagaimana diungkapkan diatas, pelaksanaan beriddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya.

Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Disana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beriddah inilah yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beriddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilangar dari Allah SWT.


--------------------------------------



PENUTUP


Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa:

Iddah merupakan batas menunggu bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena cerai mati atau tidak untuk bisa bersuami lagi.
Lamanya iddah bagi wanita yang bercerai dengan suaminya, yaitu : Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid atau kurang lebih tiga bulan, Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (manoupuse) = tiga bulan.dan Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
Manfaat dari adanya iddah diantaranya adalah untuk:
Mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan;
Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya;
Tenggang waktu berfikir tentang positif atau negatifnya untuk rujuk kembali atau meneruskan perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai, dan ;
Sebagai ujian terhadap kesabaran.
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kedokteran, komunikasi serta transportasi, maka masa iddah masih memungkinkan untuk didiskusikan menuju masa iddah kearah yang lebih singkat lagi.


Semoga postingan ini dapat bermanfaat bagi saya selaku orang awwam dan antum semua.

Sumber : rismaalqomar.wordpress.com

Kamis, 12 Juli 2012

Keutamaan Solat Tarawih di 30 Malam Bulan Ramadhan





Assalamualaikum ...

Sebentar lagi kita akan menghadapi bulan suci Ramadhan, tentu nya kita sebagai muslim wajib melaksanakan puasa dan juga melakukan sunnah-sunnah Rasulullah saw seperti sholat tarawih, i'tikaf, tahadjud dan lainnya. Nah, apa sobat udah tau apa sih keutamaan malam-malam di bulan Ramadhan ??? kali ini saya akan memberi ilmu (jiaah kaya udah tinggi aja ilmunya, hehe) tentang keutamaan malam-malam di bulan Ramadhan.

Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa dia berkata: Nabi SAW ditanya tentang keutamaan-keutamaan tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beliau bersabda:


  1. Orang mukmin keluar dari dosanya pada malam pertama, seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya. 
  2. Dan pada malam kedua, ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin. 
  3. Dan pada malam ketiga, seorang malaikat berseru dibawah ‘Arsy: “Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.” 
  4. Pada malam keempat, dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan (Al-Quran). 
  5. Pada malam kelima, Allah Ta’ala memeberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjidil Haram, masjid Madinah dan Masjidil Aqsha. 
  6. Pada malam keenam, Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang berthawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas. 
  7. Pada malam ketujuh, seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa a.s. dan kemenangannya atas Fir’aun dan Haman. 
  8. Pada malam kedelapan, Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahin as 
  9. Pada malam kesembilan, seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadatnya Nabi saw. 
  10. Pada Malam kesepuluh, Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat. 
  11. Pada malam kesebelas, ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya. 
  12. Pada malam keduabelas, ia datang pada hari kiamat sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama. 
  13. Pada malam ketigabelas, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan. 
  14. Pada malam keempat belas, para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat. 
  15. Pada malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan para penanggung (pemikul) Arsy dan Kursi. 
  16. Pada malam keenam belas, Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga. 
  17. Pada malam ketujuh belas, ia diberi pahala seperti pahala para nabi. 
  18. Pada malam kedelapan belas, seorang malaikat berseru, “Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.” 
  19. Pada malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajat-derajatnya dalam surga Firdaus
  20. Pada malam kedua puluh, Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh). 
  21. Pada malam kedua puluh satu, Allah membangun untuknya sebuah gedung dari cahaya. 
  22. Pada malam kedua puluh dua, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan. 
  23. Pada malam kedua puluh tiga, Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga. 
  24. Pada malam kedua puluh empat, ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan. 
  25. Pada malam kedua puluh lima , Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur. 
  26. Pada malam keduapuluh enam, Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun. 
  27. Pada malam keduapuluh tujuh, ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar. 
  28. Pada malam keduapuluh delapan, Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga. 
  29. Pada malam kedua puluh sembilan, Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima. 
  30. Dan pada malam ketiga puluh, Allah ber firman : “Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.”  


*Sumber Hadist dari Kitab Duratun Nasihin, Bab Keistimewaan Bulan Ramadhan

Kamis, 24 November 2011

MASALAH RUMAH TANGGA DAN PENYELESAIANNYA

TALAK 1. MAKSUD · Bahasa : melepaskan ikatan · Istilah : melepaskan ikatan perkahwinan melaui lafaz talak 2. HUKUM · Wajib :apabila terjadi perselisihan antara suami dengan isteri dan tidak menemui jalan penyelesaian · Sunat :apabila suami tidak sanggup menanggung nafkah isteri dengan sempurna / isteri tidak memelihara kehormatan diri · Makruh :jika suami menceraikan isteri yang baik · Harus :apabila tiada persefahaman antara suami dan isteri · Haram :jika menjatuhkan talak yang sedang haid / menjatuhkan talak ketika isteri suci dan telah disetubuhi pada waktu itu 3. JENIS-JENIS TALAK · Talak raj’i : talak 1 / 2, boleh rujuk jika belum habis idah) · Talak bain : (talak 3 / isteri tebus talak, tidak boleh rujuk) · Talak sunni : talak terhadap isteri ketika sedang suci yang pernah disetubuhi · Talak bid’i : talak terhadap isteri ketika haid yang pernah disetubuhi / selepas disetubuhi 4. RUKUN TALAK · Suami · Isteri · Lafaz; § Jenis-jenis lafaz; - lafaz terang (yang tidak menimbulkan keraguan) - lafaz sindiran (tidak jelas dan diragui samada ia bermaksud cerai / tidak) 5. BILANGAN TALAK : 3 kali 6. TALAK TAKLIK : · Talak yang disandarkan kepada sesuatu syarat · Terbahagi kepada 2 : § Taklik biasa - Talak yang dilafazkan dalam keadaan biasa seperti suami berkata "jika engkau keluar dari rumah ini maka engkau tertalak dengan satu" - Talak berlaku jika isteri keluar dari rumah pada waktu itu § Taklik secara khuluk - Seperti yang terdapat dalam surat nikah. - Akibat talak taklik secara khuluk , suami tidak boleh merujuk isterinya kecuali dengan akad dan mahar yang baru. 7. MENGAPA TALAK DITANGAN LELAKI; · lelaki mempunyai hak mengendalikan urusan rumah tangga · lelaki pemimpin keluarga · lelaki lebih cermat dan tabah menghadapi kesulitan 8. HIKMAH TALAK · memberi peluang kepada suami isteri menginsafi kesalahan · memberi peluang mencari penghidupan baru · sebagai jalan penyelesaian kepada pasangan yang bertengkar 9. AKIBAT TALAK · anak-anak menjadi mengsa dan menghadapi tekanan · anak-anak tiada pengawasan
-------------------------------
RUJUK 1. MAKSUD · Bahasa : kembali · Istilah : suami mengambil kembali bekas isterinya yang telah diceraikan dalam masa idah raj’i. 2. HUKUM; · Wajib : bagi suami yang menceraikan salah satu daripada isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan pembahagian gilirannya. · Haram : jika rujuk mendatangkan kemudaratan kepada isteri · Makruh : jika perceraian lebih baik dari rujuk · Harus : jika rujuk membawa kebahagiaan kepada isteri dan keluarganya 3. RUKUN RUJUK; · Suami · Isteri · Lafaz rujuk 4. SYARAT RUJUK; i. Suami § Islam § Baligh § Berakal § Dengan kemahuan sendiri ii. Isteri § Islam § Telah disetubuhi suami § Bukan perceraian secara fasakh atau khuluk § Bukan dijatuhkan talak tiga § Masih dalam tempoh idah iii. Lafaz / sighah § Menggunakan lafaz rujuk seperti " aku rujuk engkau " § Tidak bertaklik § Tidak ditentukan had masa 5. HIKMAH RUJUK; i. Supaya pasangan dapat membina hidup baru dengan mengakui kesilapan masing-masing ii. Menyambung ikatan kekeluargaan iii. Menyelamatkan anak dari terjerumus ke lembah yang tidak baik iv. Mengembalikan ketenteraman jiwa pada suami isteri
-------------------------------
IDAH 1. MAKSUD : · Bahasa : tempoh pengiraan · Istilah : tempoh masa larangan berkahwinan yang wajib dipatuhi oleh isteri selepas berpisah dengan suami 2. JENIS DAN TEMPOH IDAH : i. Idah disebabkan perceraian a. Sedang hamil § Hingga melahirkan anak b. Tidak hamil § Tiga kali suci c. Putus haidh § Tiga bulan d. Belum disetubuhi § Tiada edah ii. Idah disebabkan kematian suami a. Hamil § Hingga melahirkan anak b. Tidak hamil § 4 bulan 10 hari c. Putus haidh § 4 bulan 10 hari d. Belum disetubuhi § 4 bulan 10 hari 3. SEBAB PERBEZAAN TEMPOH EDAH : · Bagi perempuan bercerai hidup § Dapat membersihkan rahim daripada benih hasil hubungan dengan bekas suami § Cukup untuk menumpukan perhatian kepada penjagaan kesihatan dan kandungan bagi yang sedang hamil · Bagi perempuan bercerai mati § Sebagai tanda perkabungan dan kesedihan · Bagi perempuan yang belum disetubuhi § Tiada idah kerana rahimnya suci daripada benih suami 4. HIKMAH IDAH : · Memastikan isteri tidak hamil dengan bekas suaminya untuk mengelak daripada berlaku percampuran keturunan apabila isteri berkahwinan dengan lelaki lain · Memberi peluang kepada suami isteri untuk berfikir dan menyesal terhadap perbuatannya · Menzahirkan kepentingan dan kesucian ikatan perkahwinan yang tinggi nilainya di sisi agama dan masyarakat · Memberi penghormatan kepada suami yang meninggal dunia dan menjaga perasaan keluarganya terutama isterinya 5. HAK DAN STATUS ISTERI SEMASA DAN SELEPAS IDAH : · Hak semasa idah § Bagi yang diceraikan dengan talak satu / dua - Masih dibawah tanggungjawab suami - Berhak mendapat hak sebagaimana sebelumnya ( nafkah, tempat tinggal, pakaian dll ) - Isteri tidak boleh keluar rumah tanpa keizinannya § Bagi isteri yang dalam tempoh idah talak bain - Isteri tidak boleh dirujuk - Tidak mendapat nafkah kecuali tempat tinggal - Tidak mendapat hak perwarisan harta § Bagi isteri yang kematian suami - Berhak diberi tempat tinggal selama tempoh idahnya · Hak selepas idah § Tidak mempunyai hubungan lagi dengan bekas suami § Bebas menetukan kahidupan sendiri § Pasangan bercerai tamat idah berhak berkahwin semula § Boleh dipinang oleh lelaki yang ingin memperisterikannya 6. PERKARA YANG DILARANG SEMASA IDAH Dipinang § Bagi perceraian hidup - Diharamkan sama ada pemingan secara terang / sindiran § Bagi perceraian mati - Diharamkan sama ada pemingan secara terang, tetapi harus secara sindiran Keluar dari rumah yang disediakan oleh suami § Bagi perceraian hidup - Diharamkan keluar rumah tanpa izin suami kecuali untuk keperluan syarak § Bagi perceraian mati Diharamkan keluar rumah kecuali untuk keperluan syarak Menghias diri § Bagi perceraian hidup - Jika dalam idah raji'e diharuskan berhias. Jika dalam idah bain disunatkan tidak berhias § Bagi perceraian mati - Diharamkan berhias Berkahwin § Bagi perceraian hidup - Diharamkan berkahwin dengan lelaki bukan suami § Bagi perceraian mati - Diharamkan berkahwin
-------------------------------
FASAKH 1. MAKSUD : membatalkan nikah dengan kuasa kadi disebabkan tidak memenuhi syarat syarat pada masa akad nikah atau berlaku perkara yang membolehkan isteri atau suami menuntut cerai 2. HUKUM : harus , bila ada sebab 3. SEBAB YANG MEMBOLEHKAN FASAKH : · suami tidak memberi nafkah / tempat tinggal / mas kahwin · tidak tahu kedudukan suami - suami hilang selama 6 bulan - keadaan ini dibolehkan fasakh kerana ia sama dengan keadaan suami tidak memberi nafkah zahir dan batin · suami berpenyakit yang tidak boleh diubati · salah seorang cacat · salah seorang dari isteri / suami murtad · berlaku persetubuhan syubhat ( salah sangka ) · suami zalim · tidak bernafsu dengan lelaki · kecacatan syarie 4. HIKMAH : · mengelakkan kaum wanita teraniaya · menunjukkan keadilan Allah terhadap hak perceraian · memberi peluang untuk isteri memilih jalan hidupnya
-------------------------------
KHULUK 1. MAKSUD : perceraian yang diminta oleh isteri dengan membuat bayaran kepada suami ( TEBUS TALAK ) 2. HUKUM : harus - jika isteri berasa tidak sesuai dengan suaminya - bimbang berlaku derhaka terhadap suami jika meneruskan ikatan perkahwinan 3. AKIBAT : tidak boleh rujuk semula melainkan dengan akad nikah yang baru 4. BAYARAN TIDAK DI TETAPKAN: · dengan cara suami minta harga · persetujuan suami isteri 5. BAYARAN BOLEH DENGAN · nilai mata wang / barang-barang halal, suci, berharga, bermanfaat 6. CATATAN · khuluk tidak boleh dipaksa oleh orang lain · khuluk tidak mengurangi bilangan talak · khuluk boleh dilakukan pada masa haid 7. TUJUAN / HIKMAH DIHARUSKAN : · mengelakkan isteri menderhaka · beri penghormatan kepada wanita bertindak mengikut syarak · menginsafkan suami / mengelakkan ego suami yang suka menyalah gunakan kuasa sebagai ketua keluarga untuk bertindak sesuka hati. 8. RUKUN 1. suami 2. isteri 3. bayaran yang dipersetujui 4. ucapan
-------------------------------
NUSYUZ 1. MAKSUD : · Dari segi bahasa : ingkar · Dari sudut istilah : suatu tindakan oleh isteri yang dianggap menentang kehendak suami dengan tidak ada alas an munasabah mengikut hukum agama 2. CONTOH : 1. keluar rumah tanpa izin suami dengan tiada urusan mustahak 2. tidak mahu layan suami tanpa ada keuzuran 3. musafir tanpa izin suami 4. membantah perintah suami yang tidak bertentangan dengan ajaran islam 5. berpaling dari suami ( masam muka ) 3. CARA ATASI : · menjalankan tanggungjawab masing-masing · berunding · peka kepada keperluan masing-masing 4. KEADAAN TIDAK NUSYUZ; · tidak sediakan makanan · berkata kesat / kurang sopan 5. GARIS PANDUAN SELESAIKAN MASALAH ISTERI NUSYUZ; · nasihat · pulau tempat tidur · beritahu keluarga isteri · pukul dengan tidak mencederakan · khidmat nasihat kaunseling islam
-------------------------------
ZIHAR 1. MAKSUD : · Bahasa : belakang · Istilah : suami menyamakan isterinya atau mana-mana anggotanya dengan ibunya atau dengan mana-mana perempuan muhram baginya 2. HUKUM : · Haram dan berdosa besar 3. RUKUN DAN SYARAT · Suami § Baligh § Berakal § Sah talak § Dengan kemahuan sendiri · Isteri § Isteri yang sah § Zihar disandarkan kepada isterinya atau mana-mana anggotanya · Orang yang diserupakan dalam zihar § Perempuan § Perempuan yang muhram dengan sebab nasab, penyusuan / persemendaan · Sighah § Jelas dan khusus § Jika tidak jelas ia perlu kepada niat atau maksud ungkapan suami 4. CARA MENGHINDARI BERLAKUNYA ZIHAR · Tidak mengikut sifat arab jahiliah apabila marah dan berselisih faham · Memahami konsep zihar sebenar · Suami hendaklah menahan kemarahan supaya tidak tergesa-gesa menzihar isteri 5. KIFARAT ZIHAR · Memerdekakan seorang hamba · Berpuasa selama 2 bulan berturut-turut · Memberi makan kepada 60 orang miskin dengan kadar secupak bagi setiap seorang 6. AKIBAT ZIHAR · Suami mendapat kemurkaan Allah dan berdosa besar kerana mengharamakan perkaran yang dihalalkan oleh islam · Suami isteri diharamkan melakukan persetubuhan · Perbuatan zihar menjatuhkan maruah isteri · Suami wajib membayar kifarah
-------------------------------
LI'AN MAKSUD * Bahasa : laknat * Istilah : - sumpah suami yang disandarkan dengan laknat daripada Allah untuk menolak hukuman qazaf disebabkan tiduhan zina terhadap isteri atau menafikan nasab - sumpah isteri yang disertakan kemurkaan Allah untuk menolak tuduhan zina suaminya SEBAB BERLAKU LI'AN * Suami menuduh isteri berzina tanpa membawa 4 orang saksi untuk membenarkan tuduhannya - Suami boleh disebat 80 kali sebatan jika gagal membawa saksi - Untuk mengelakkan perkara tersebut suami hendaklah bersumpah li'an untuk membenarkan tuduhannya - Isteri juga dikehendaki bersumpah li'an bagi menolak tuduhan suaminya jika tidak mengaku bersalah PROSES BERLAKU LI'AN * Suami menuduh isteri berzina atau menafikan keturunan anaknya tanpa saksi yang cukup * Isteri menolak tuduhan suami dan menuntut dilaksanakan hukuman qazaf terhadap suaminya * Hakim memerintahkan dilaksanakan proses lian v Suami bersumpah dihadapan hakim sebanyak 4 kali dengan tuduhan zina / menafikan keturunan anaknya § Sumpah kali yang ke-5 supaya dirinya dilaknat Allah jika berdusta v Isteri bersumpah dihadapan hakim sebanyak 4 kali menafikan tuduhan suaminya § Sumpah kali yang ke-5 supaya dirinya dilaknat Allah jika berdusta KESAN LI'AN TERHADAP SUAMI ISTERI * Suami isteri terpisah selepas sumpah li'an * Suami tidak lagi boleh berkahwin semula dengan bekas isterinya itu selama-lamanya * Suami yang membuat tuduhan dilepaskan dari tuduhan qazaf * Isteri akan dikenakan had zina jika tidak menolak tuduhan dengan sumpah li'an * Anak yang dinafikan dalam sumpah lian, ternafi nasabnya daripada suami yang bersumpah * Isteri berhak menuntut nafkah anak jika suami tidak menafikan nasabnya HIKMAH DISYARIATKAN LI'AN * Suami dapat mencari jalan penyelesaian secara adil dan diredhai Allah * Isteri dapat menjaga maruahnya daripada tercemar dengan melakukan sumpah li'an dihadapan orang ramai * Suami dapat mempertahankan kesucian nasabnya daripada dicemari oleh isteri yang melakukan perbuatan zina

Sabtu, 19 November 2011

Masa Iddah bagi Wanita dan Hikmahnya






PENDAHULUAN


Seks merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila antara laki-laki dan perempuan telah diikat oleh suatu ikatan yang sah yang disebut dengan pernikahan.

Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Manakala setelah perkawinan terjadi hubungan seks, tetapi dalam perjalanan perkawinan itu ternyata tidak berjalan dengan mulus dan terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan itu tidak bisa dicapai dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.

Islam memberikan batasan iddah ini sebagai berikut :

1. Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.

2. Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (menopause) = tiga bulan.

3. Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.

4. Iddah wanita hamil = sampai melahirkan.

5. Tidak ada iddah bagi wanita yang belum dicampuri.

Lamanya iddah seperti tersebut diatas sebagaimana juga tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat (2).

Dalam hukum perdata masa iddah ini disebut dengan masa tunggu, yaitu dengan lamanya :

1. 1 (satu) tahun bagi wanita yang cerai dan ingin kawin lagi dengan bekas suaminya itu, dan.

2. 300 hari bagi wanita baru diperbolehkan untuk kawin dengan laki-laki lain.


------------------------------------------------

PEMBAHASAN

A. Beberapa Hadits Terkait Iddah

Banyak sekali hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan iddah. Diantaranya adalah:

I. Iddah Wanita Hamil

عن المسورين مخرمة رضي الله عنه (انّ سبيعة الاسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت الى النبي ص.م. فاستاءذنته ان تنكح فاذن لها، فنكحت) رواه البخارى، واصله فى الصحيحين

Dari Miswar putera Makhramah: “Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra melahirkan setelah suaminya meninggal dunia beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin, maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari).

وفى لفظ (انّها وضعت بعد وفاة زوجها باربعين ليلة) وفى لفظ لمسلم قال الزهرى (ولا ارى باءسا ان تزوّج وهى فى دمها، غير انّه لا يقربها زوجها حتى تطهر)

Dan pada suatu lafadz disebutkan: “sesungguhnya Subai’ah melahirkan setelah suaminya meninggal empat puluh hari.” Dan pada suatu lafadz pada riwayat Muslim disebutkan: berkata Az Zuhri: “Aku berpendapat tidak ada halangan ia kawin dalam keadaan masih darah nifas, hanya saja suaminya jangan menyetubuhi dulu sebelum ia suci.”

II. Iddah Wanita yang Meminta Cerai (Khulu’)

حدّثني عبادة بن الوليدبن عبادة بن الصامت عن ربيع بنت معوّذ قال قلت لها حدّثني حديثك قالت اختلعت من زوجي ثم جئت عثمان فسألته ماذا علىّ من العدّة فقال لاعدّة عليك الاّان تكون حديثة عهد به فتمكني حتى تحيضى حيضة قال وانا متّبع فى ذلك قضاء رسول الله ص.م. فى مريم المغاليّة كانت تحت ثابت بن قيس بن شمّاش فاختلعت منه

Menceritakan kepadaku Ubadah Ibnu Walid Ibnu Shamit bertanya pada Rubayyi’ binti Mu’awidz: “ceritakan kisahmu padaku”. Ia berkata: “aku telah meminta cerai dari suamiku”. Kemudian aku datang pada Usman dan aku bertanya padanya: “berapa hari masa iddahku.” Jawabnya: “tidak ada iddah atasmu, kecuali jika kamu telah bergaul dengan suamimu. Maka sekarang tunggulah hingga kamu haid sekali. Dalam hal ini aku mengikuti keputusan Rasulullah atas diri Maryam Al Maghalibiyah, yang menjadi istri Tsabit Ibnu Qais Ibnu Syamas, dan kemudian ia meminta diceraikan suaminya.”

III. Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

عن زينب بنت ام سلمة قالت امّ حببيبة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لا يحلّ لامرأة تؤمن بالله واليوم الاخر تحدّ على ميت فوق ثلاثة أيام الا على زوج اربعة اشهر وعشرا

Dari Zainab binti Ummu Salamah dari Ummu Habibah ra. Berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:” tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung atas orang yang mati lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka masa berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.”

IV. Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya Sebelum Terjadi Senggama

عن عبراهيم عن علقمة عن ابن مسعود انّه سئل عن رجل تزوج امرأة ولم يفرض لها صداقا ولم يدخل بها حتى مات قال ابن مسعود لها مثل صداق نسائها لا وكس ولا شطط وعليها العدة ولها الميرات فقام معقل بن سنان الاشجعي فقال قضى فينا رسول الله ص م فى بروع بنت واشق امرأة منّا مثل ما قضيت ففرح ابن مسعود رضى الله عنه

Dari Ibrahim dari Alqamah berkata: “Ketika Ibnu Mas’ud ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita, kemudian ia mati sebelum memberikan mas kawin pada istrinya dan juga belum bersenggama dengannya. Jawab Ibnu Mas’ud: Istrinya tetap berhak mendapatkan mas kawin, tidak boleh kurang atau lebih, dan atasnya berlaku iddah serta ia berhak mendapat warisan”. Maka berdirilah Ma’qil ibnu Sinan Al Asyja’i dan berkata: “Rasulullah saw telah memutuskan masalah Barwa’ binti Wasyq, sebagaimana yang putuskan. Ia adalah seorang wanita kaum kami.” Karena itu Ibnu Mas’ud menjadi senang.”

B. Pengertian Iddah

Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :

Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”

Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.

C. Hukum Iddah dan Macam-Macamnya

Para ulama sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228 yang artinya “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Rasulullah juga pernah bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kaltsum.”

Macam-macam iddah:

1. Iddah karena cerai mati.

Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan, yaitu : Jika perempuan tersebut hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah Ath-Thalaq ayat 4. Demikian pula telah disebutkan dalam sebuah Hadits Rasulullah yang artinya : “Kalau seorang perempuan melahirkan sedang suaminya meninggal belum dikubur, ia boleh bersuami.” Tetapi jika tidak hamil, maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari. Hal ini sebagaimana disebutkan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 234.

2. Iddah cerai hidup.

Perempuan yang dicerai dalam posisi cerai hidup dalam hal ini ada tiga keadaan yaitu :

1) Dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Ath-Thalaq ayat 4 .

2) Dalam keadaan sudah dewasa (sudah menstruasi) masa iddahnya tiga kali suci. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228.

3) Dalam keadaan belum dewasa (belum pernah menstruasi) atau sudah putus menstruasi (menopause), iddahnya adalah tiga bulan. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Ath Thalak ayat 4

3. Iddah bagi perempuan yang belum digauli, maka baginya tidak mempunyai masa iddah. Artinya boleh langsung menikah setelah dicerai oleh suaminya. Perhatikan firman Allah dalam surah Al-Ahzaab ayat 49.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, iddah diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang dalam Pasal 153 ayat (2) sampai dengan (6) nya berbunyi :

(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :

Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.

(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.

(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”

D. Eksistensi Iddah Dalam Pernikahan

Sebagaimana pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya. Adanya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut :

Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :

Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan istri; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
Sebagai masa transisi.

Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:

Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal.
Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”

Agar postingan ini tidak terlalu padat, saya akan sambungkan lagi ke postingan berikutnya yang membahas manfaatnya. Silahkan klik link ini

Kamis, 14 Juli 2011

Hukum Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Bertasyahud dalam Shalat Bag. 2

sambungan

Hadits Kedua
“Dari Ibnu „Umar -radhiyallahu „anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi‟ dari Ibnu Hibban.

Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta‟dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho‟if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini „illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

- Pertama :
Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi‟ dari Ibnu „Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi‟ dari Ibnu „Umar, akan tetapi dari „Ali bin „Abdirrahman Al-Mu‟awy dari Ibnu „Umar. Tujuh rawi tersebut adalah:

1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo‟ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu „Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.

2. Isma‟il bin Ja‟far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu „Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.

3. Sufyan bin „Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.

4. Yahya bin Sa‟id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.

5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu „Awanah 2/243.

6. „Abdul „Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.

7. Syu‟bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam „Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.

- Kedua :
Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab:

1. Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : „Ubaidullah bin „Umar Al-„Umary dari Nafi‟ dari Ibnu „Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu „Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du‟a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A‟lam.
Kesimpulan
Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

----------


Hadits-Hadits Yang
Menyatakan Bahwa Jari
Telunjuk Digerak-Gerakkan
Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :
“Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.

Derajat Hadits
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.

Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).
Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.

2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.

3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.

5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.

6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.

7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.

8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.

9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.

10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.

11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.

12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.

13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.

14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.

15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.

16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.

17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.

18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.

19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.

20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.

21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.

22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.

Kesimpulan :
Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

Klik disini untuk berlanjut ke bagian 3

Hukum Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Bertasyahud dalam Shalat Bag. 3

sambungan

Pendapat Para Ulama Dalam
Masalah Ini
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :

Pertama :
Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.

Kedua :
Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.

Ketiga :
Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak.
Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.

Namun dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau. Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berisyarat” itu mempunyai dua kemungkinan :

Pertama :
Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.

Kedua :
Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.

Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :

Pertama :
Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan Ash-Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah) maksudnya tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.

Kedua :
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :
“Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang shohih.

Kesimpulan :
Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Wallahu A’lam Bissawab.

----------


Jawaban Dewan Fatwa

Para fuqaha bersepakat bahwa menunjuk dengan jari telunjuk ketika bertasyahud adalah sunah. Menunjuk dengan jari telunjuk ini merupakan tanda atas ketauhidan dan keikhlasan. Hanya saja para ulama berselisih pendapat mengenai cara mengepalkan tangan dan cara menunjuk dalam tasyahud tersebut. Perselisihan mereka ini berkisar pada keafdalan (keutamaan) amalan, bukan pada boleh tidaknya perbuatan itu. Perselisihan ini disebabkan adanya beberapa hadist yang menunjukkan beberapa cara dalam melakukan perbuatan itu.

Sebagian fuqaha berpendapat bahwa cukup hanya menunjuk dengan jari telunjuk, sedangkan yang lain berpendapat bahwa dianjurkan pula untuk menggerakkannya. Semua hal itu termasuk dalam sunnah hai'ah yang tidak sepatutnya menghilangkan kekhusu'an dalam shalat.

Hukum Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Bertasyahud dalam Shalat Bag. 1


Banyak ana lihat di masjid-masjid, musholla-musholla atau tempat ibadah lainnya orang yang ketika bertasyahud menggerak-gerakkan telunjuknya keatas-kebawah dan kesamping.

Yang jadi pertanyaannya "Apasih hukumnya menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahud dalam shalat ??? dan apakah hal itu termasuk bid'ah ???

Jawaban dari Forum tanya jawab

Fenomena semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu‟ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu‟ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta‟an.

Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :

1. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.

2. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.

3. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.

----------


Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti „Abdullah bin Zubair, „Abdullah bin „Umar, Abu Muhammad As-Sa‟idy, Wa`il bin Hujr, Sa‟ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya.
Maka yang perlu dibahas disini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).

Hadits-Hadits Yang Menyatakan
Jari Telunjuk Tidak Digerakkan
Sama Sekali
Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.

Hadist Pertama
“Sesungguhnya Nabi shalallahu „alaihi wassalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du‟a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin „Ajlan dari „Amir bin „Abdillah bin Zubair dari ayahnya „Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.

Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :
Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.

Ibnu Juraij. Nama beliau „Abdul Malik bin „Abdil „Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata Akhbarani (memberitakan kepadaku).
Muhammad bin „Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).
„Amir bin „Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh „abid (terpercaya, ahli ibadah).
„Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari „Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.

Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
Pertama : Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
Kedua : Syadz karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah

“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho‟if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.

Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin „Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin „Ajlan karena beberapa perkara :
1. Muhammad bin „Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.

2. Riwayat Muhammad bin „Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

3. Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin „Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :

a. Al-Laits bin Sa‟ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.

b. Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi‟ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, „Abd bin Humaid no.99.

c. Yahya bin Sa‟id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu „Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.

d. Sufyan bin „Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.

Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin „Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin „Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa‟ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

4. Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari „Amir bin „Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin „Ajlan juga meriwayatkan dari „Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin „Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin „Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :

a. „Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu „Awanah 2/241 dan 246.

b. Ziyad bin Sa‟ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.

c. Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.

Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits „Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin „Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa‟ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin „Ajlan.


Klik disini untuk lebih detail